DSMIV

Kamis, 28 Januari 2010

Abnormal atau pembunuh yang abnormal

Abnormal atau pembunuh yang abnormal



Hukum : Pembunuhan Bisa dianggap Normal atay Abnormal


Ayub Bulubili 40 tahun ditembak mati di tempat tembakan tahanan di Kalimantan Central pada jam 1. 30 pagi, setelah dia didapati bersalah membunuh 6 orang dalam satu keluarga pada Februari 1999. Dia dijatuhkan hukuman bunuh sampai mati atas pembunuhan karena niat membunuh keluarga enam orang, termasuk 4 anak-anak dibawah umur antara 4 tahun dengan 13 tahun.


Permohonannya untuk pengampunan (clemency) telah di tolak oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada Juli 2004 dan clemency kedua oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Maret 2007. Dia telah dihadapkan pada pasokan penembak dan nyawa dilenyapkan. Pemerintah Indonesia hari ini masih mempertimbangkan untuk menggantikan metode pembunuhan itu dengan menggunakan lethal injection atau injeksi pada sarap pelaku sebagai ganti cara membunuh manusia yang di vonis oleh hukum. Singapore masih menggunakan cara lama, yaitu gantung sampai mati.


Apakah seorang pembunuh itu memang pada dasarnya gila karena memang dia gila, atau dia memangnya jahat?

Dalam tulisan saya kali saya akan coba membuka tirai perbicaraan mengenai kaitan hukum dengan psychiatry (ilmu jiwa) dalam konteks alasan hukum untuk mengelakkan dari sanksi di jatuhkan hukuman mati dengan beralasan bahwa sipelaku telah hilang daya mengontrol diri dibawah perkara “diminished responsibility” didalam kasus pidana.


Ia melibatkan ketidakpastian sains tersebut, dan juga mengenai ketidakpastian undang-undang pidana, diolakah dengan sebegitu rupa dengan prosidur hukum pidana dan sanksi untuk satu situasi yang disesuaikan dengan tersangka yang mentalnya kurang normal dimana dia diproses dalam perjudian hidup dan mati.


Ia berakhir dengan permohonan kapada profesi hukum dan psykiatri untuk berfikir sejenak dengan lebih kreatif dengan cara-cara yang bisa diterima manusia untuk menghadapi pelaku yang menjadikan mental abnormal sebagai alasan kapada tuduhan membunuh.


Kenapa terjadinya hal seperti ini?

Dalam hukum pidana (criminal law) kecacatan keanggotaan mental (diminished responsibility) adalah satu alasan hukum yang potensinya sangat kaut untuk dijadikan alasan oleh tersangka dengan argument bahawa biarpun dia memang telah melanggar undang-undang, dia tidak boleh di pertanggungjawabkan atas kesalahan tersebut oleh karena pada saat hal tersebut berlaku atau dilakukan, fungsi mentalnya telah tidak dapat berfungsi secara sempurna atau memang pada asalnya cacat. Di jurisdiksi Amerika, dan Eropa undang-undang sudah menerima prinsip ini sejak abad 19, telah di adopsi oleh akta dan perundangan mereka dan menjadi dasar kasus-kasus yang diputuskan sacara meluas. Dan ada juga yang mau meluaskan alasan ini kepada alasan-alasan seperti “reaksi yang secara spontan” (irresistible impulse). Dan alasan ini apabila diterima oleh mahkamah akan mengurankgan sanksi kepada pelaku menjadi tuduhan dari membunuh kepada perbuatan yang menyebabkan kematian kepada orang, tetapi bukan membunuh.



Ia adalah prinsip pokok alasan pembelaaan yang di pelopori oleh Justice M/Naghten dasar yang disebut M’Naghten Rules. Ia mengakibatkan jurisdiksi hukum di Eropa dalam tahun 20-an membuat resolusi untuk menjatuhkan hukuman ‘bersalah’ dengan usul dan rekomendasi akan beban hukuman dikurangkan karena kondisi yang berlainan dari manusia yang normal. Akhirnya kita lihat banyak keputusan-keputusan mahkamah mendapati bahwa kecacatan atau kelemahan otak boleh mendatangkan efek pengurangan tuduhan membunuh kepada perlakuan yang membuat kematian, dan mahkamah mempunyai kuasa wewenang untuk menghukum sebagai mana mereka merasa patut.

Banyak kasus-kasus klasik seperti Rv Raven (1982) Crim LR 51dapat menunjukkan bahwa seorang yang berumur 22 tahun tetapi mempunyaik akal anak 9 tahun oleh karena provokasi seorang homosexual, membunuh tetapi diketepikan tuduhannya oleh mahkamah. Kecacatan mentalnya telah membuat dia seperti seorang manusia berumur 9 tahun yang tidak dapat di pertanggungjawapkan kepada perbuatan pidana yang dia lakukan karena dia juga terlindung dibawah akta (S50 Akta kanak2 tahun 1933).


Memang kita akan lihat hari ini bahaw efeknya keputusan serupa itu berbeda dari satu jurisdiksi kapada jurisdiksi yang lain nya. Kerana ada mahkamah akan menerima alasan tersebut dan melepaskan si pelaku dari tuduhan. Yang lain masih menganggap si pelaku masih tetap bersalah dan diberikan hukuman yang ringan.


REALITAS HARI INI.

Satelah kita melihat sacara perspektif akan hal hokum yang begini, tentu sekali perkara yang akan menggugat perasaan satiap siswa hukum, dosen, pemerhati atau pengacara pembela dan kejaksaan dari sudut hukum pidana adalah menghadapi seorang tersangka yang mengaku salah dan menggunakan alasan “diminish responsibility’ sebagai jalan keluar pada tuduhan yang seperti membunuh. Dengan tidak ada sebab, dia membunuh manusia lain. Dia mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa manusia lain dan menggunakan alasan bahwa mentalnya tidak mantap dan dia harus dimaafkan. Para hak asasi memberi dukungan bahwa dia tidak bersalah karena keadaan semula jadinya dan nyawa si pelaku harus dilindungi biarpun cacat seperti itu. Dia harus dilindungi dari masyarakat untuk menghukumnya! Cukuplah nyawa yang sudah hilang kata mereka. Sedangkan pakar ahli jiwa dari Kejaksaan menyatakan bahwa dia tidak mengalami apa-apa penyakit mental yang menyebabkan tersebut. Sedangkan pada saat yang sama para ahli jiwa dari pihak pembela menyatakan bahwa dia sedang mengalami tekanan mental yang membuat kan dia tidak berupaya mengontrol dirinya sawaktu perlakuan tersebut. Hakim, yang bukan seorang ahli jiwa, saperti orang yang berdiri di pergentingan, harus membuat keputusan diantara salah satu yang benar – dan akhir nya dia lebih condong pada argumennya Kejaksaan. Dan kalahlah Pembelaan. Si tersangka didapati bersalah dan dihukum bunuh sampai mati.


Kita pasti terharu. Seorang telah terbunuh dan masyarakat mempunyai kewajipan merasa terpukul akan hal saperti itu. Tetapi orang yang di hukum mati itu kelihatannya telah melakukan perbuatan membunuh itu dalam keadaan yang mana manusia normal tidak akan melakukan pembunuhan. Dan dia juga tidak lari untuk di deteksi oleh polisi. Malah dia menyerah diri. Banyak misalnya dalam kisah seperti ini. Diantara nya kisah Zainal di Patar Slamat. Juga kasus di Singapura yang kami tahu seperti kasus Contemplacion v Pp (1994) 3 SLR 834 yang membunuh teman wanita TKW nya dan juga budak umur 4 tahun dimana hukuman bunuh terhadapnya menimbulkan ketegangan antara Filipina dengan Singapura. Dan juga kasus seorang tentara (Chia Chee Yeen v PP) (1991) SLR 312 saorang anggota tentera Perkhidmatan Negara menembak ketua tentera nya dengan senjata M16 di kepala hingga bersepai dan salepas itu cuba membunuh diri nya tetapi tidak berjaya. Dan banyak lagi kasus-kasus serupa itu yang akan berlaku. Sehingga hari ini ramai kasus ini tidak diterima oleh mahkamah di Singapura melainkan dua kasus yang terbaharu ia itu kasus G Krishnasamy Naidu v DPP (2006) 4 SLR 874 dan juga PP v Juminem (2005 ) 4 SLR 536.


Rekod kemenangan pembelaan sangat lah sedikit kerana mahkamah condong pada hujah pakar jiwa kejaksaan dan bukan pembelaan, hanya satelah 2 kasus terakhir ini Mahkamah berpindah arah kepada pembelaan. Apakah sebenarnya hukum ini sudah boleh diterima oleh pihak mahkamah.?


Cacat sedikit atau cacat banyak?


Benteng Alasan yang kuat seperti “tidak sihat fikiran” masih dapat digunakan , tapi akhir-akhir ini Penal Code telah mereka satu definasi baru ia itu “diminished responsibility” (Penal Code Section 300 (7) )Cap 224 , 1985 Rev Ed. Tidak sihat fikiran adalah alasan kuat sama seperti “gila”, alasan yang dapat dibuat sabagai hujah pidana dan pembelaan dari hukuman. Tapi ia tidak dapat di gunakan dalam kesalahan pidana dalam penyalah penggunakan Dadah dibawah Kesalahan Penggunaan Dadah (Cap 185, 2008 Rev Ed) dan juga Akta Kesalahan senjata (Arms Offences Act Cap 14, 2008, dimana alasan diminished responsibility di tiadakan sama sekali.


Karena kalau hal tersebut berlaku pada tersangka “Melasti 3” yang cuba menyeludup heroin itu di Singapura, pasti ketiga-tiga warga Australia, yaitu Si Yi Chen, Mathew Norman dan Tan Duc Thanh Nguyen pasti jadi mayat akhirnya. Jadi ia bukan lah satu kehairanan alasan hukum itu tidak digunakan. Sekiranya ia mendapat kelepasan dari tuduhan ia bukanlah satu keistimewaan – ia membawa kapada kurungan yang amat lama “ mengikut wewenangannya Presiden Republik Singapura.” Para ahli hukum berpendapat ia adalah obat yang lebih rusak dari penyakitnya.


Karena pada dasarnya, ia adalah amat sukar untuk membuktikan syarat alasan yang utama –ia itu penyakit mental itu telah membuat si pelaku tidak upaya untuk mengenal apa yang ia sedang lakukan, atau ia salah dan bertentangan dengan hukum”. Ia masih menjadi perkara teka teki hukum. Definasi “ diminished responsibility” telah menjadi kan banyak ahli pakar jiwa sangat enggan untuk menjadi saksi dimahkamah untuk memenuhi syarat “gila” yang dimaksudkan – dan mengikut statistik sejak tahun 1961, tidak ada pakar ahli jiwa siap untuk mendukung bahwa pelaku yang dimaksudkan adalah mereka yang termasuk dalam kategori orang yang “gila “ dalam arti hukum dibawah section 84.


Jadi “ diminished responsibility” dibawah Section 300(7) Penal Code itu adalah definasi yang sangat sukar untuk ditafsirkan dan juga satu pembelaan yang sangat sukar untuk disukseskan didalam mahkamah dan mereka berharap semoga mahkamah memberikan hukuman yang tidak seberat hukuman ‘ dibawah wewenangnya Presiden.”